Perjalanan Saya Untuk Bisa Sembuh dari Pterigium
Pterigium adalah salah satu penyakit mata yang sebenarnya tidak berbahaya namun dapat menggangu penglihatan atau terasa kurang nyaman pada mata apabila kena sinar terik matahari, angin kencang, dan debu. Demikian penjelasan dokter setiap kali berkonsultasi tentang sakit mata yang dulu saya derita.
Awal dari sakit mata ini saya derita ketika kerja di sawah bersama orang tua pada saat terik di siang hari sewaktu masih duduk bangku SMU. Ketika itu ada benda kecil yang masuk ke mata saya, terus terjadilah iritasi. Awalnya saya pikir hanya iritasi biasa, sehingga hanya ditetesi dengan obat iritasi.
Ternyata iritasi pada mata saya yang sebelah kanan tak kunjung sembuh dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah masuk asrama (kebetulan saya sekolah berasrama) saya pun berobat ke dokter Mubin yang buka praktek di komplek sekolah Nurul’ilmi Padangsidimpuan setiap sore. Oleh beliau hanya dikasi tablet dan tetes mata, seperti pada umumnya kita berobat mata ke dokter, kata beliau sakit mata saya biasa saja.
Waktu terus berjalan, ternyata mata saya tak kunjung sembuh total, bolak balik kambuh. Sehingga saya pun memutuskan untuk periksa dokter spesialis mata di RSUD Padangsidimpuan. Yang mengagetkan diri saya waktu adalah tiba-tiba dokter bicara setelah memeriksa mata saya, “matamu ini tak bisa sembuh kalau tidak dioperasi”. Saya waktu itu sempat kaget rada-rada agak emosi. Saya tanya ke dokter, “apa tidak ada cara penanganan lain dok?” dia jawab “tidak” dengan singkat. Terus dia beri penjelasan tambahan bahwa tak usah dioperasi saat itu juga, “terus aja sekolah bahkan kuliah, insyaAllah tak ada masalah. Nanti setelah lulus kuliah, bekerja dan punya uang, kalau mau operasi, operasilah” demikian paparnya. Kalimat tersebut membuat saya sedikit terhibur. Dan sejak itu saya menganggap tak ada masalah di mata saya, dan akan diperiksa ulang setelah lulus kuliah nantinya.
Setelah lulus SMU, saya pun melanjutkan studi ke Unimed dengan program studi Pendidikan Sejarah. Selama menjalani kuliah, saya tidak merasakan ada gangguan yang berarti pada mata saya. Kendati terkadang kalau lelah, mata kena angin, debu, dan panas, terlihat merah pada mata yang sebelah kanan. Dan tak jarang kawan-kawan kuliah bertanya apakah mata saya sedang sakit? Saya jawab, itu taka pa-apa, hanya karena sedikit lelah, atau kena angin berdebu. Mereka pun mungkin mengira kalau mata saya sensitif kena iritasi.
Tahun 2008, Alhamdulillah saya lulus dari Unimed. Dua tahun sebelum lulus saya sudah mulai mengajar di SMA Swasta An-Nizam Medan. Di samping juga pernah jadi tentor sejarah di Bimbingan Belajar Dakwah USU dan Lembaga Pendidikan Primagama cabang Aksara Medan. Di tempat bekerja juga tak jarang kawan-kawan sejawat bertanya kenapa mata saya sering merah. Kadang-kadang kami kira kamu sedang marah, canda mereka waktu. Jawaban saya hampir sama seperti di atas waktu masih kuliah.
Waktu pun terus bergulir, desember 2008 saya dinyatakan lulus tes CPNS di Pemko Tanjungbalai untuk formasi guru sejarah di SMA. Terhitung mulai juli 2009 saya pun memulai karir baru sebagai guru di SMA Negeri 1 Tanjungbalai. Pertanyaan yang sama juga sering saya terima dari kawan-kawan guru di sekolah. Dan jawaban saya juga relatif sama dengan yang sebelum-sebelumnya.
Pertengahan Februari 2011, ketika saya mengikuti rapat kerja pengurus MITI Mahasiswa di Bandung. Salah seorang kawan pengurus MITI-M waktu itu, yang juga merupakan seorang dokter, Nanang Nurofik namanya. Pada saat istirahat sholat tiba-tiba bertanya ke saya, “mata pak Herman kenapa?”. Saya jawab “sakit, dan itu biasa”. Lantas dia bilang coba saya perikasa. Ini namanya pterigium pak. Dan dia pun cerita panjang tentang jenis penyakit mata saya ini serta cara penanganannya secara medis. Sejak itu lah saya tahu bahwa nama sakit mata yang saya derita selama ini adalah pterigium.
Sejak tahun 2011 sebenarnya saya sudah merasakan bahwa pterigium yang saya derita sudah mulai mengganggu penglihatan. Tapi untuk sementara waktu saya coba bersabar untuk tidak periksa ke dokter spesialis mata. Di samping pertimbangan dana juga butuh kesiapan psikologis.
Di akhir Nopember 2011, saya berpikir sudah waktunya untuk memeriksakan kembali mata saya ke dokter spesialis mata dan bertekad untuk segara berobat. Untuk mewujudkan tekad tersebut, saya pun pergi ke RSUD Dr.Mansoer Tanjungbalai untuk konsultasi ke dokter. Ternyata disana sudah tidak ada lagi waktu itu dokter spesialis mata. Oleh petugas Askes, saya disarankan agar ambil surat rujukan ke puskesmas Datuk Bandar, terus ke kantor Askes Tanjungbalai, baru berangkat ke RSUD Kisaran, disana katanya ada dokter spesialis mata. Saya pun mengikuti arahan petugas askes tersebut. Segala kelengkapan administrasi saya urus di Tanjungbalai kemudian berangkat ke RSUD Kisaran. Di luar dugaan saya, betapa buruknya pelayanan kesehatan di negeri ini. Wajar saja ada ungkapan, “orang miskin dilarang sakit”. Tiga hari lamanya saya harus pulang pergi ke Kisaran untuk menjumpai dokter yang dimaksud, karena lama tertahan oleh urusan administrasi yang berbelit-belit. Setelah ketemu dengan dr.H.Hasmui,SpM dia sarankan agar dioperasi, tapi jangan di rumah sakit tersebut, karena fasilitasnya kurang baik. Kalau mau berkorban uang, dia menyarankan agar dioperasi di Medan. Setelah konsultasi dengan beliau, saya pun diarahkan agar menemui dr.Debby Parwis,SpM di Medan (tempat praktik di depan SMA N 1 Medan).
Minggu pertama liburan semester ganjil anak sekolah, saya berangkat ke Medan untuk konsultasi ke dr.Debby Parwis,SpM. Tepatnya tanggal 6 Januari 2012, hari jum’at saya konsultasi ke dr.Debby Parwis,SpM. Dari penjelasan dokter ternyata pterigium termasuk penyakit genetis. Adapun angin, debu, panas terik matahari yang berlebihan seperti penjelasan yang banyak say abaca di internet hanyalah pemicu. Faktor dasarnya karena bawaan genetis tadi. Penderita pterigium ph air matanya di bawah tujuh (asam) sementara air mata yang nomal pada umumnya phnya di atas tujuh (basa). Dari konsultasi tersebut disepakati insyaAllah minggu depannya akan operasi dengan biaya dua juta rupiah. Namun di luar dugaan sabtu pagi, keesokan harinya saya dapat telpon dari kampung bahwa bou saya (adik ayah yang paling kecil) dibawa ke RSUD Padangsidimpuan karena kondisi kesehatannya memburuk. Hanya berselang beberapa jam kemudian, ternyata Allah telah memanggil beliau. Tidak ada pilihan bagi saya kecuali harus segera mempersiapkan diri untuk bisa pulang ke kampung (Tapsel) bersama keluarga yang berada di Asahan. Kondisi berduka ini ditambah keadaan keuangan yang belum memungkinkan menjadikan rencana operasi harus diundur untuk beberapa saat.
Rabu, 18 Januari 2012, tiga hari setelah masuk sekolah di semester genap. Saya menjumpai pegawai KPN SMA N 1 Tanjungbalai, kemudian menyampaikan rencana mau minjam uang untuk keperluan berobat. Beliau pun segera memprosesnya, Alhamdulillah hari itu juga langsung dana yang mau dipinjam bisa dicairkan. Keesokan harinya, kamis, 19 Januari 2012 bersama keluarga, kami pun berangkat ke Medan untuk menjalani operasi yang sudah direncanakan bersama dr.Debby Parwis,SpM.
Sehari setelah berada di Medan, tepatnya hari jum’at, setelah melaksanakan sholat isya’, niatan untuk melakukan operasi mata Alhamdulillah dapat terwujud juga. Operasi tersebut saya jalani di klik spesialis mata “ain” milik dr.Debby Parwis,SpM di daerah jalan S.Parman Medan. Operasinya tidak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit. Setelah operasi kami langsung diperbolehkan untuk pulang ke penginapan. Keesokan harinya sekitar jam 10.30 perban mata saya dibuka dan diperiksa oleh dokter. Katanya tinggal cari kacamata hitam saja untuk mengurangi cahaya dan menjaga agar tidak kena debu. Perbannya bisa dibuka sendiri kalau kacamatanya sudah ada.
Setelah operasi tersebut saya diberi dua buah jenis tablet, masing-masingnya di makan tiga kali sehari. Serta tiga jenis obat tetes mata. Dua jenis ditetesi empat kali sehari dan yang satunya lagi delapan kali sehari. Kemudian dokter juga menuliskan resep tambahan apabila mata saya dempet setiap bangun tidur. Setelah dibeli ternyata obat yang dimaksud juga berbentuk tetes.
Saat ini insyaAllah dalam proses pemulihan. Semoga mata saya akan kembali sehat. Perjalanan ini memberi pelajaran penting bagi saya betapa besar nikmat penglihatan yang Allah berikan.
Oleh. Herman Siregar