Antara Sosialisme & Komunisme

Sosialisme merupakan paham yang menghendaki campur tangan pemerintah seluas-luasnya dalam bidang ekonomi. Negara diharapkan sampai pada bidang perekonomian yang sekecil-kecilnya untuk menghadirkan kesejahteraan bersama.

Sementara komunisme sendiri sebenarnya salah satu bentuk dari ajaran sosialisme yang diajarkan oleh peletak dasarnya yakni Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pada tahapan praktik, pertama kali dilakukan oleh Lenin di Rusia pada tahun 1917.

Secara garis besar yang menyakamakan antara sosialisme dan komunisme adalah berkeingingan untuk memperluas fungsi negara dan penguasaan bersama dari alat-alat produksi yang ada.

Sementara perbedaan antara sosialisme dan komunisme adalah sebagai berikut:

Pertama, sosialisme bersifat evolusioner, percaya pada cara-cara damai yang dapat ditempuh oleh negara untuk mencapat tujuan-tujuannya. Sementara komunisme bersifat revolusioner, membenarkan tercapai tujuan-tujuan negara dengan jalan revolusi.

Kedua, sosialisme mengakui hak milik dalam batas-batas tertentu. Sementara komunisme lebih ekstrim dalam melaksanakan programnya, seperti penghapusan semua hak milik.

Menarik untuk didiskusikan lebih lanjut:
1) Seperti apa jalan revolusi yang dimaksud oleh komunisme?

2) Apa saja batas-batas hak milik yang diakui oleh sosialisme?

3) Bagaimana persepsi sosialisme dan komunisme terhadap agama?

4) Jika sosialisme percaya pada cara-cara damai dalam rangka mencapai tujuan negara, bagaimana menurut komunisme?
______________
Sumber bacaan: buku “Ilmu Negara” karya Samidjo, S.H. hal.232-233

Sejarah Asal Usul Nama Mandailing

Sejarah Asal Usul Nama Mandailing

Oleh. Hermansyah Siregar

Ada banyak pendapat yang menjelaskan tentang asal usul nama Mandailing. Beberapa pendapat tersebut umumnya masih bersifat hipotesa (dugaan) yang perlu diuji kebenarannya.

Salah satu sumber sejarah yang menyebutkan nama Mandailing di masa lalu adalah Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit.

Pada syair yang ke-13 dan 14 Kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa pasukan Majapahit pernah melakukan ekspansi ke daerah Sumatera yang meliputi: , Jambi, Palembang, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, dan Lampung yang terjadi sekitar tahun 1365 (pertengahan abad ke-14).

Selain dalam kitab Negarakertagama, nama Mandailing juga terdapat dalam Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar, sebuah karya kesusastraan Toba-tua klasik. Sebagaimana telah diuraikan oleh Batara Sangti (Ompu Buntilan Simanjuntak) dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Batak”.

Diantara bagian Tonggo-tonggo Si Boru Deak Parujar ini berisi:

“Sian Tano hondur, tano malambut, tano hulambu jati, sian tano padang bakkil bandailing, tano siogung-ogung; parsirangan ni tano, pardomuan ni aek; sian I ma dalan laho tu ginjang, partiatan ni Ompunta: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon tu banua tonga on”.

Artinya:

“Dari tanah lembah, tanah kelabu sejati, dari tanah bakil Mandailing, tanah yang termasyhur, bagaikan suara yang merdu, perpisahan dari tanah, pertemuan daripada air; dari situlah tangga jalan ke atas, perturunan daripada Empu kita: Debata Nan Tiga, Nan Tiga Segi, Nan Empat Kerajaan, ke benua tengah ini”.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah sejak lama ada, dan sangat masyhur (terkenal) di masa lalu.

Menurut Dada Meuraxa dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Suku-Suku di Sumatera Utara” ada beberapa pendapat yang menjelasakan asal usul nama Mandailing.

Pertama, ada yang berpendapat bahwa nama Mandailing berasal dari kisah Sibaroar (leluhur marga Nasution) yang Mandenya (ibunya) hilang, sehingga disebut Mandehilang, dan lama-kelamaan kemungkinan perkataan ini berubah menjadi Mandailing. Pendapat ini menurut dugaan penulis dapat hihubungkan dengan kisah yang menceritakan bahwa ayah Sibaroar merupakan Batara Pinayungan, anak raja Pagaruyung.

Pendapat yang agak mirip menceritakan bahwa di masa lalu banyak orang Minangkabau datang mengambil emas di daerah Mandailing sekarang. Pada suatu waktu ketika mendulang emas (mencari emas), ibu mereka ada yang hilang, dalam bahasa Minang disebut mande hilang. Kejadian ini tersebar kemana-kemana, sehingga lama-kelamaan daerah ini disebut Mandailing.

Pendapat kedua menjelaskan bahwa nama Mandailing berasal dari “mandalai” ada juga menyebutkan dari kata “manjalai”. “Mandalai” dalam bahasa Karo berarti merindu, sementara “manjalai” dalam bahasa Batak berarti mencari. Kata “mandalai” ada juga kemungkinan dari salah satu nama kota di Burma/Birma yakni Mandalay.

Pendapat yang ketiga, menurut G. Siregar Baumi (Gelar CH. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam) dalam bukunya yang berjudul “Surat Tumbaga Holing” diceritakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata “Mandulang”. Hal ini karena daerah Mandailing khususnya di sekitar aliran sungai Batang Gadis dikenal kaya akan emas. Banyak orang bekerja “mandulang sere” (mencari emas), atau terkadang hanya disebut dengan istilah mandulang. Dari kata mandulang ini lama-kelamaan berubah menjadi Mandailing.

Pendapat yang keempat, menurut Mangaraja Lelo Lubis, sebagaimana diuraikan oleh Z. Pangaduan Lubis dalam buku “Asal Usul Marga-marga di Mandailing”, bahwa berdasarkan cerita orang-orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “mandala holing”. Pada masa lalu, Mandala Holing diyakini sebagai nama kerajaan di derah Portibi (Kabupaten Paluta sekarang) hingga ke Pidoli, Panyabungan.

Awalnya pusat kerajaan Mandala Holing berada di Portibi, kemudian dalam perjalanannya dipindahkan ke Pidoli. Pemindahan pusat kerajaan Mandala Holing ini diduga sebagai akibat desakan ekspansi pasukan Majapahit, sebagaimana diceritakan dalam kitab Negarakertagama.

Pendapat yang kelima, ada yang menyebutkan asal nama Mandailing dari perkataan Mandala Hilang, bukan Mandala Holing. Pada masa lalu, orang-orang Mandala (koling atau keling) pernah mendaiami daerah Mandailing sekarang. Ketika bangsa Melayu memasuki daerah ini, orang-orang Mandala pergi ke tempat lain. Sehingga lama-kelamaan sebutan itu berubah menjadi Mandailing.

Karena beberapa uraian pendapat di atas masih bersifat hipotesis (dugaan) yang umumnya didasarkan pada tradisi lisan di masyarakat tentu akan terus membuka ruang diskusi mengingat tradisi lisan terkadang dianggap lemah karena tidak memiliki “sanad” informasi yang jelas. Namun, ketika belum ada sumber sejarah lain, tradisi lisan tetaplah bisa dijadikan sumber informasi awal untuk mengetahui kehidupan di masa lalu.

______

Daftar Pustaka

Alam, Ch. Sutan Barani Perkasa. 2015. Surat Tumbaga Holing. CV. Mitra. Medan.

Lubis, Z. Pangaduan. 2010. Asal Usul Marga-Marga di Mandailing. Pustaka Widiasarana. Medan.

Meuraxa, Dada. 1973. Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara. Sasterawan. Medan.

Muljana, Slamet. 2011. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. LKiS. Yogyakarta.

Sangti, Batara (Ompu Buntilan). 1977. Sejarah Batak. Karl Sianipar Company. Balige.

Zulhaida & Norma. 2011. Legenda Marga. Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provins Sumatera Utara.

Menolak Kecurangan Bukan Menolak Kekalahan

Menolak Kecurangan Bukan Menolak Kekalahan

Ada sebuah realitas yang menunjukkan bangsa ini semakin dewasa dalam berdemokrasi. Dan tentunya pantas disyukuri. Bahwa menang dan kalah adalah hal biasa dalam sebuah proses pemilu.

Demi keutuhan bangsa, yang menang tentu harus merangkul yang kalah. Yang kalah tentu harus “mendukung” yang menang.

Sikap “penolakan” pada proses perhitungan hasil Pemilu dari sejumlah elemen nampaknya karena melihat adanya dugaan kecurangan, bukan karena mengalami kekalahan.

Sebagai warga negara baik, sebagai peserta pemilu yang baik, dugaan kecurangan silahkan dilaporkan dan diproses melalui jalur hukum. Berbagai sengketa pemilu silahkan diselesaikan di MK.

Yang ingin menyampaikan keberatan pada hasil pemilu dengan cara turun ke jalan, saya pikir juga diperbolehkan oleh konstitusi. Yang penting tetapkan pada koridor Undang-Undang yang berlaku.

Pasal 28 UUD NRI 1945 menjelaskan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Jika yang ditolak adalah kecurangan, semua pihak tentu harus menghormati dan mendukungnya. Karena kebenaran dan keadilan harus ditegakkan.

Kepada pihak-pihak terkait perlu membangun kesadaran mendalam bahwa apapun yang kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Refleksi 21 Tahun Reformasi

Refleksi 21 Tahun Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden Republik Indonesia kemudian beliau digantikan oleh B.J. Habibie. Sejak saat itu pula gelombang sejarah reformasi dimulai. Sehingga tanggal 21 Mei 2019 reformasi tepat berusia 21 tahun.

Gelombang reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa memiliki 6 tuntutan pokok yang biasa dikenal dengan 6 Visi Reformasi, yakni:
1. Penegakan supremasi hukum
2. Pemberantasan KKN
3. Pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya
4. Amandemen UUD 1945
5. Pencabutan Dwifungsi ABRI
6. Otonomi daerah

Ketika kita melakukan refleksi dan evaluasi 21 tahun reformasi, tentu harus mengacu kepada pencapaian 6 Visi Reformasi di atas.

Selain itu perlu juga dipahami bahwa reformasi merupakan sintesis dari tesis Orde Lama dan antitesis Orde Baru.

Pemerintah Orde Lama cenderung menjadikan “politik sebagai panglima”. Kehidupan berdemokrasi tumbuh dan berusaha mencari formula yang tepat untuk Indonesia, namun upaya menghadirkan kesejahteraan kurang terperhatikan.

Selanjutnya Orde Baru hadir sebagai antitesis Orde Lama. Pemerintah Orde Baru cenderung mengedepankan pembangunan ekonomi sebagai panglima. Jika ingin ekonomi tumbuh, negara harus stabil, dan untuk mencapai stabilitas negara maka kebebasan berpolitik harus dibatasi. Pasca Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru melakukan penyederhaan (fusi) partai politik menjadi dua, PPP dan PDI. Sehingga peserta pemilu 1977 terdiri dari dua partai politik (PPP dan PDI) dan GOLKAR. Dengan sebuah harapan dinamika politik akan berkurang, stabilitas akan terwujud.

Reformasi hadir dengan sebuah harapan demokrasi akan mampu menghadirkan kesejahteraan. Reformasi sejatinya mampu menghadirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Rakyat diberi ruang “kebebasan” berserikat, berkumpul dan menyuarakan pikiran-pikirannya. Pada saat yang bersamaan kehidupan yang sejahtera dan merata juga terwujud.

Jika ruang kebebasan menyampaikan pikiran dan aspirasi politik mulai dikekang. Kesejahteraan juga masih jauh dari harapan. Ini pertanda reformasi hampir “mati”.
______________
Sumber bacaan:
Gelombang Ketiga Indonesia karya Anis Matta

Oleh Herman Siregar

Guru Sejarah SMA Negeri 1 Tanjungbalai

Mendiskusikan Ulang Budi Utomo Sebagai Awal Kebangkitan Nasional

Mendiskusikan Ulang Budi Utomo
Sebagai Awal Kebangkitan Nasional

Pada tahun 1906 hingga 1907, dr. Wahidin Sudirohusodo melakukan kampanye di kalangan priyayi Jawa untuk menghimpun “Dana Pelajar”, semacam beasiswa untuk memajukan martabat rakyat.

Di akhir tahun 1907, dr.Wahidin ketemu dengan Sutomo, seorang pelajar STOVIA, di Jakarta. Pertemuan ini memperbincangkan tentang nasib rakyat. Kemudian menginspirasi Sutomo untuk mendirikan Budi Utomo (BU) pada hari Rabu, 20 Mei 1908 dengan jangkauan yang lebih luas dari gagasan awal dr.Wahidin.

BU pada awal berdiri pengurus intinya diisi oleh pelajar-pelajar STOVIA. Perjalanan BU kemudian dipimpin oleh generasi yang lebih tua, yang berasal dari golongan priyayi.

Setelah perdepatan panjang tentang corak Bu, maka pengurus besar menutuskan untuk membatasi gerakan di bidang pendidikan dan budaya, dan tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik. Dari sisi keanggotan BU juga dibatasi hanya Jawa dan Madura. Prof.Dr.Ahmad Mansur Suryanegara menyebut bahwa BU antara tahun 1908-1931 masih menutup diri untuk dimasuki oleh suku yang bukan Jawa, sehingga BU terkesan sebagai “organisasi yang eksklusif”.

Adalah hal yang wajar jika ada sejumlah kalangan berusaha mengkaji ulang penetapan tanggal berdirinya BU sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Karena dari segi cakupan gerakan dan keanggotaan BU dinilai kurang tepat menjadi awal lahirnya semangat kebangsaan (nasionalisme).

Menurut Dr.Asvi Warman Adam, BU sebenarnya tidak pernah mendapat dukungan luas dari rakyat. Hingga akhir tahun 1909 keanggataan BU diperkirakan paling banyak sekitar 10.000 orang. Sementara jika dibanding dengan Sarikat Islam (SI) yang dipimping oleh H.O.S.Cokroaminoto mencapai 1/2 juta orang.

Prof.Dr.Syafi’i Maarif juga berpandangan bahwa penetapan tanggal berdirinya BU sebagai Hari Kebangkitan Nasional dinilai ahistoris, sebab itu harus dikoreksi. Menurut beliau akan lebih tepat permulaan Hari Kebangkitan Nasional adalah saat terbentuknya Perhimpunan Indonesia (PI) yang semula bernama Indische Vereeniging. Karena PI dipandang lebih terbuka bagi berbagai suku dan agama. Dalam perkembangannya, PI pernah menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka”, sebuah ungkapan yang sangat berani pada masanya.
______________
Sumber bacaan:
1. “Islam Dalam Bingkai Keindonesia dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah” karya Ahmad Syafii Maarif.
2. “Seabad Kontroversi Sejarah” karya Asvi Warman Adam
3. Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid V

Oleh Herman Siregar

Guru Sejarah SMA Negeri 1 Tanjungbalai

Kemajuan Pendidikan Islam Menjadi Inspirasi Awal Kebangkitan Eropa

Kemajuan Pendidikan Islam
Menjadi Inspirasi Awal Kebangkitan Eropa

Memasuki tahun 133 H / 750 M kekuasaan Dinasti Umayah di Damaskus dipindahkan ke Qurtubah atau Kordoba di Spanyol. Selanjutnya di wilayah timur berdiri Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.

Pada periode ini merupakan era kejayaan pendidikan Islam. Jika Dinasti Umayah di Spanyol mendirikan Universitas Kordoba, maka Dinasti Abbasiyah mendirikan Universitas Nizhamiyah, kemudian di Mesir beridiri Universitas Al-Azhar.

Kejayaan pendidikan Islam di Spanyol dan Baghdad (Irak) menjadi inspirasi bagi masyarakat Eropa untuk bangkit dan memasuki Zaman Pencerahan (Renaissance).

Ketika ilmu pengetahuan berkembang di Spanyol, banyak orang Eropa datang belajar kesana, kemudian menterjemahkan karya-karya umat Islam dan mempelajarinya. Setelah pulang ke negeri masing-masing mereka mendirikan universitas dengan meniru pola pendidikan Islam di Spanyol.

Menurut Prof.Dr. Ahmad Mansur Suryanegara tidak hanya sistem kurikulum dan ujian yang diduplikasi masyarakat Eropa, bahkan proses wisuda juga sebenarnya terinspirasi dari dunia Islam. Toga dalam Latin, hanya dirubah sebagai pengganti istilah “jubah” berwarna hitam seperti warna Kiswah Ka’bah.

Begu, Parbegu, dan Si Pele Begu Dalam Keyakinan Tradisional Masyarakat Sipirok

Begu, Parbegu, dan Si Pele Begu
Dalam Keyakinan Tradisional Masyarakat Sipirok

Begu dalam keyakinan tradisional masyarakat Sipirok adalah roh dari manusia yang sudah meninggal. Belakangan begu diartikan sama dengan jin (jihin).

Anggota masyarakat yang mempercayai adanya begu oleh orang Sipirok disebut Parbegu. Kadang-kadang mereka juga dinamakan Si Pele Begu.

Arti dari Si Pele Begu adalah orang yang memuja (memale) begu.

Masyarakat Parbegu atau masyarakat Si Pele Begu pada masa dahulu mempercayai bahwa tempat tinggal begu ada dimana-mana.

Tempat yang paling umum di huni begu antara lain rawa-rawa, hutan rimba, gunung yang tinggi, jurang yang dalam, batu yang sangat besar.

Selain menghuni tempat-tempat tersebut, begu juga suka menempati tasik yang jernih airnya, mata air, lubuk yang dalam, dan air terjun yang tinggi.

Ada juga begu yang suka menghuni pohon kayu beringin yang besar, pohon kayu besar yang besar yang sudah mati, dan tunggul kayu besar.

Begu diyakini sering menyurupi burung elang yang suka berkuik, rusa besar, babi tunggal, musang besar, ular piton besar, ular sibaganding, dan ular sende.
______________
Sumber:
Buku “Sipirok Na Soli Bianglala Masyarakat Sipirok” karya Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B Lubis hal.237-238.

Konsep Raja Pada Masyarakat Angkola Mandailing

Konsep Raja Pada Masyarakat Angkola Mandailing

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam menyebut raja pada masyarakat Angkola Mandailing. Perbedaan istilah tersebut biasanya berhubungan dengan cakupan wilayah dan kewenangan seorang raja.

Berikut ini beberapa istilah raja pada masyarakat Angkola Mandailing:

1. Raja Panusunan
Raja Panusunan pada masyarakat Mandailing merupakan raja yang memimpin beberapa huta yang membentuk satu gabungan (federasi) untuk kepentingan bersama, misalnya dalam hal menghadapi serangan musuh atau dalam rangka menghadirkan kehidupan yang lebih sejahtera.

Dulu gabungan huta disebut “janjian” yang dipimpin Raja Janjian. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Raja Janjian berubah menjadi Raja Panusunan. Kumpulan beberapa huta yang membentuk federasi biasanya berasal dari huta yang satu keturunan (marga). Pemimpin (Raja Panusunan) diambil dari yang tertua atau yang lebih berwibawa.

Berbeda dengan di Mandailing, Raja-raja Panusunan di Angkola justru tidak berasal dari satu keturunan (tidak semarga). Misalnya di Pintu padang bermarga Daulae, di Sigalangan dan Muaratais bermarga Dalimunthe, di Pijorkoling bermarga Harahap. Sehingga jika raja-raja ini bertemu dalam satu acara adat, maka tidak disebut Raja Panusunan, tapi Raja Panusunan Bulung atau Raja Luat. Karena mereka hadir sebagai “haruaya mardomu bulung”.

2. Raja Ihutan
Raja Ihutan merupakan koordinator beberapa huta, tapi masih berada dalam pengawasan Raja Panusunan. Jika sudah mampu mandiri, Raja Ihutan dapat diakui (ditingkatkan) menjadi Raja Panusunan.

Pada masyarakat Angkola Raja Ihutan biasanya orang yang mengomandoi tentang kemaslahatan rakyat. Misalnya agar masyarakat membersihkan tali air ke sawah. Kemudian Raja Ihutan juga biasanya memiliki pemikiran dan perbuatan baik dan cenderung bermanfaat kepada orang banyak yang sangat layak untuk ditiru.

3. Raja Pamusuk
Raja Pamusuk adalah raja yang berada di bawah Raja Ihutan yang memimpin satu huta. Raja Pamusuk pada masyarakat Angkola disebut juga Raja Bonabulu.

4. Raja Pangondian
Raja Pangondian merupakan Raja Pamusuk yang berubah status menjadi Raja Pangondian karena di huta tersebut dilaksanakan horja godang. Raja Pamusuk menyerahkan sekaligus memohon kepada Raja Panusunan Bulung menjadi pemimpin sidang adat.

5. Raja Panisean
Raja Panisean merupakan raja tempat bertanya tentang sesuatu yang akan dilaksanakan. Raja Panisean disebut juga ahli parkalaan karena dia pandai manise atau meramal/memprediksi tentang sesuatu yang akan terjadi ke depan.

6. Raja Torbing Balok
Raja Torbing balok adalah raja-raja dari huta tetangga yang hadir dalam acara persidangan adat.

7. Harajaon
Harajaon adalah keturunan raja-raja yang dapat mewakili raja pada sidang adat di suatu huta.
_________________
Sumber bacaan
1. Buku “Adat Budaya Batak Angkola” karya H.Ch. Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam & Dr. Zainal Efendi Hsb, MA

2. Buku “Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman” karya H. Pandapotan Nasution, SH

3. Buku “Adat Istiadat Tapanuli Selatan” karya H.M.D. Harahap, SH

4. Buku “Surat Tumbaga Holing” karya Ch.Sutan Tinggi Barani Perkasa Alam

5. Buku “Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya” karya H.Pandapotan Nasution,SH

Tujuan Pernikahan Menurut Adat Angkola-Mandailing

Tujuan Pernikahan Menurut Adat Angkola-Mandailing

Ada ungkapan yang sangat populer bagi masyarakat Angkola-Mandailing, yakni:
Lak-lak di ginjang pintu
Singkoru digolom-golom
Sai maranak sampulu pitu
Sai marboru sampulu onom

Artinya:
Kulit kayu di atas pintu
Jali digenggam-genggam
Semoga berputra tujuh belas
Semoga berputri enam belas

Ungkapan ini sering disampaikan saat upacara adat pernikahan. Biasanya disampaikan oleh orang-orangtua saat marhobar di sidang adat.

Dari ungkapan ini bisa dipahami bahwa salah satu tujuan pernikahan menurut adat Angkola Mandailing adalah untuk memperbanyak anggota masyarakat. Bahkan kalau dihitung secara matematis, satu pasangan suami istri diharapkan mampu melahirkan tujuh belas anak laki-laki dan enam belas anak perempuan, sehingga kalau dijumlah menjadi 33 orang. Kendati kita paham bahwa ini hanyalah angka simbol.

Tentu sangat berbeda dengan motto yang dipopulerkan oleh BKKBN melalui program KB, yakni “dua anak cukup” atau “dua anak lebih baik”. Sehingga jika hal ini dilaksanakan, jumlah anggota masyarakat justru tidak akan bertambah (tidak tumbuh).

selain ungkapan di atas, ada juga ungkapan lain yang berbunyi:

Lak lak diginjang pintu
Singkoru digolom golom
Maranak nabisuk bisuk
Marboru napohom pohom

Jika ungkapan pertama berorientasi pada jumlah (kuantitas) anak, maka ungkapan kedua ini lebih fokus pada kualitas diri anak turunan.

Herman Siregar

Guru Sejarah SMA Negeri 1 Tanjungbalai

Sejarah Ketentuan Presiden Indonesia

Sejarah Ketentuan Presiden Indonesia

Pembahasan tentang ketentuan presiden Indonesia sudah dimulai sejak sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dimulai sejak tanggal 10 hingga 17 Juli 1945.

Setelah melalui diskusi yang sangat panjang, maka pada tanggal 16 Juli 1945 pagi disepakati bahwa ketentuan presiden dalam rancangan UUD berbunyi “Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Rancangan ini diterima dengan mufakat 60 orang anggota BPUPKI dan 3 orang (anggota bangsa Tionghoa) tidak setuju/ tidak mufakat.

Perjalanan sejarah selanjutnya, pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 rumusan tentang ketentuan presiden Indonesia mengalami perubahan.

Rumusan pasal 6 UUD 1945 menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Sementara kalimat “yang beragama Islam”, dicoret. Karena orang Islam hingga 95% jumlahnya di Indonesia waktu itu, dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan menjadi presiden Indonesia. Dan dengan mencoret kalimat “yang beragama Islam”, harapannya UUD akan diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragama Islam.

Perubahan selanjutnya dilakukan melalui amandemen ke-3 UUD 1945, yang disahkan oleh MPR-RI pada tanggal 9 Nopember 2001. Dari kalimat “Presiden ialah orang Indonesia asli” berubah menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Lantas, kenapa kalimat “orang Indonesia asli” dihilangkan dari UUD 1945? Atas dasar pertimbangan apa? Tentu menarik untuk didalami lebih lanjut.

Secara sederhana arti orang Indonesia asli adalah bumiputera atau pribumi. Sehingga jika kalimat tersebut dipertahankan dalam UUD, maka yang berhak menjadi presiden Indonesia ialah golongan pribumi. Apa saja ketentuan seseorang dapat disebut “orang Indonesia asli” atau pribumi? Menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Oleh Herman Siregar

Guru Sejarah SMA Negeri 1 Tanjungbalai